PERTEMUAN itu terasa tegang. Adu argumen berlangsung alot. Septian H. Pomalingo menghela napas, mencari akal Spaceman Slot agar mudah diterima. Apalagi orang yang ia hadapi berumur lebih tua dari dirinya.
“Pak guru, ini kan pemberian,” kata Iis berpendapat.
Ia secara terbuka menolak aturan larangan menerima hadiah atau gratifikasi. Ia berargumen, pemberian dari orangtua murid, “Ini rezeki, hak saya—hak sebagai guru!” katanya.
Iis adalah seorang wali kelas di Sekolah Dasar Islam Terpadu Az-Zahra di Kota Gorontalo, Gorontalo. Sudah menjadi “budaya”, ia acapkali mendapatkan hadiah-hadiah dari orangtua siswa. Maka, kala Septian membuat perubahan itu, ia merasa dongkol.
“Bukankah dalam Islam saling berbagi hadiah itu dianjurkan? Tahabu tahaddu…” Iis menguatkan argumennya. Sebagai kepala SD IT Az-Zahra, Septian paham apa yang disampaikan itu sebuah anjuran dalam Islam sesuai sabda Nabi Muhammad: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.”
Namun, bukan itu yang disoal. Ia tetap menjelaskan apa yang diterima Iis dan guru lain bukanlah “hak guru”. Jika orangtua ingin memberikan hadiah, katanya, seluruh guru dan tenaga pendidik di yayasan, juga harus mendapatkan yang sama.
“Kalau tidak bisa, berarti orangtua tidak diperkenankan untuk memberikan sesuatu kepada guru,” tegas Septian kala itu.
Perdebatan itu terjadi pada tahun kedua Septian sebagai kepala sekolah. Apakah perdebatan itu selesai? Tidak. Iis masih berpendirian: hadiah itu hak dan dibenarkan agama. Di sisi lain, Septian malah memilih Iis sebagai guru “coaching” pendidikan antikorupsi (PAK).
Sejak kejadian pada 2020 itu, Septian kian mempelajari seluk-beluk aturan gratifikasi. Termasuk, ia menerima sejumlah materi terkait tata kelola ekosistem yang berintegritas dari KPK.